Genangan Tak Kunjung Surut: Banjir di Samping Kantor Kelurahan Pulo Jadi Cermin Kota

Pada Minggu malam, 6 Juli 2025, genangan air setinggi hampir satu meter masih memblokade jalan di samping Kantor Kelurahan Pulo, wilayah Prapanca, Jakarta Selatan. Meskipun hujan deras telah reda sejak sore, air tetap menggenangi lokasi tersebut dan menyebabkan hambatan serius bagi aktivitas warga. Jalanan yang biasanya ramai itu berubah menjadi kolam besar, membuat kendaraan kecil tak bisa lewat dan pejalan kaki harus mencari rute alternatif.

Fenomena banjir seperti ini bukan hal baru bagi ibu kota, namun letaknya yang begitu dekat dengan institusi pemerintahan seperti kantor kelurahan membuat kita harus bertanya: mengapa problem klasik ini tak kunjung mendapat solusi menyeluruh? Seharusnya pusat pelayanan warga seperti kelurahan menjadi tempat yang bebas dari hambatan seperti banjir. Kondisi ini mencerminkan ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan dan kebutuhan nyata masyarakat sehari-hari.

Secara geografis, Jakarta memang rentan terhadap banjir akibat letaknya yang rendah dibanding permukaan laut, serta buruknya sistem drainase di sebagian besar wilayahnya. Namun, banjir yang menahun di spot-spot strategis seperti ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar alam, melainkan juga manajemen kota yang belum optimal. Perencanaan taktis terhadap aliran air, penataan ulang saluran, dan pengawasan bangunan liar seharusnya menjadi kebijakan darurat, bukan wacana jangka panjang.

Mirisnya, genangan semacam ini tidak hanya menghambat aktivitas harian masyarakat, tetapi juga menyiratkan lemahnya ketahanan infrastruktur perkotaan kita terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang makin sering terjadi. Tanpa komitmen integratif antara pemerintah daerah dan warga untuk mengelola lingkungan secara berkelanjutan, sepertinya hujan akan terus menjadi momok menakutkan bagi Jakarta, bukan berkah yang memberi kesuburan.

Situasi di Pulo bukan sekadar cerita lokal, melainkan potret lebar dari tantangan yang dihadapi kota besar di Indonesia. Banjir di samping kantor kelurahan adalah metafora yang kuat: jika tempat pelayanan publik saja tak terlindungi dari air, bagaimana nasib kawasan perumahan biasa? Kini saatnya semua pihak, dari pembuat kebijakan hingga warga, melihat banjir bukan hanya sebagai bencana tahunan, tapi sebagai sinyal bahwa kota ini minta ditata ulang secara adil dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *