Ketika Sejarah Menjadi Medan Pertarungan Ingatan Kolektif
Dalam sebuah peristiwa penuh tensi, sejumlah elemen masyarakat menyerbu rapat Komisi X DPR RI yang dihadiri oleh anggota dewan Fadli Zon. Mereka datang dengan satu tuntutan: hentikan penulisan ulang sejarah yang dinilai berisiko memutihkan masa lalu kelam rezim Orde Baru. Aksi ini menjadi sorotan karena menyentuh isu yang sangat fundamental bagi bangsa—kebenaran sejarah dan cara kita memilih untuk mengingatnya.
Isu ini kembali mencuat setelah muncul wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, presiden Indonesia yang menjabat selama tiga dekade dengan reputasi yang kontroversial. Sementara sebagian melihatnya sebagai tokoh pembangunan, banyak juga yang menyoroti pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan pers, dan korupsi sistemik yang terjadi di bawah pemerintahannya. Ketegangan ini mencerminkan perdebatan besar: apakah rekonsiliasi dengan sejarah bisa dilakukan tanpa mengingkari fakta?
Kata “penulisan ulang” seringkali menjadi momok, karena menggambarkan upaya manipulasi terhadap narasi masa lalu. Meski sejarah selalu ditulis ulang oleh generasi penerus, yang menjadi persoalan adalah jika proses tersebut bersifat politis, menguntungkan segelintir pihak, dan menyingkirkan suara korban. Penolakan publik ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa ingatan kolektif kita belum siap untuk didikte ulang oleh kepentingan politik sesaat.
Kehadiran tokoh seperti Fadli Zon dalam rapat tersebut menandakan bahwa isu ini tak terlepas dari dinamika kekuasaan. DPR seharusnya berdiri sebagai lembaga representasi kepentingan rakyat, bukan alat justifikasi bagi reintegrasi sejarah versi elite. Saat warga berani masuk ke ruang-ruang formal demokrasi dan menyuarakan penolakan, itu merupakan indikasi bahwa masyarakat tidak mau diam melihat sejarah dilukis dengan cat warna baru yang menutupi noda lama.
Penulisan sejarah adalah tanggung jawab moral lintas generasi. Alih-alih menghapus atau menghaluskan narasi, sebaiknya kita membuka ruang dialog yang adil dan jujur untuk memahami kompleksitas masa lalu. Menghadapi sejarah dengan jujur bukan berarti mengubur jasa, tetapi memastikan bahwa luka tidak ditutup bohong. Kita berutang pada masa depan untuk menyampaikan warisan sejarah apa adanya—seburuk atau sebaik apapun itu.
Beranda
Whatsapp
Daftar
Promosi
Livechat