Wali Kota Surabaya Pilih Pendekatan Humanis untuk Anak Pelanggar Jam Malam

Di tengah kekhawatiran meningkatnya perilaku remaja yang kerap melanggar jam malam, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengambil langkah yang mengejutkan tetapi penuh empati. Ia menegaskan bahwa pemerintah kota tidak akan menempatkan anak-anak yang melanggar aturan tersebut ke dalam asrama. Pendekatan ini menandai pergeseran signifikan dari metode penegakan aturan berbasis hukuman ke arah yang lebih humanis dan berorientasi pada pembinaan.

Pernyataan Eri Cahyadi mencerminkan kesadaran akan pentingnya peran keluarga dan lingkungan sosial dalam membentuk perilaku anak. Dengan tidak memasukkan anak-anak tersebut ke asrama, pemerintah kota ingin menghindari trauma atau stigma yang mungkin muncul dari perlakuan keras terhadap pelanggar usia muda. Sebagai gantinya, mereka akan diajak berdialog dan dibina secara langsung oleh dinas terkait dan tokoh masyarakat.

Langkah ini mendapat beragam respons dari masyarakat. Sebagian besar menyambut positif karena menunjukkan bahwa pemimpin memahami bahwa menyelesaikan masalah anak bukanlah perkara hitam dan putih. Namun, kritik juga muncul, terutama dari mereka yang khawatir kebijakan ini bisa membuat aturan jam malam kehilangan kekuatan hukumnya. Dalam konteks ini, Surabaya sedang menjajal jalur tengah yang seimbang antara ketegasan dan kasih sayang.

Secara pribadi, saya memandang ini sebagai pendekatan cerdas yang selangkah lebih maju dari metode konvensional. Pendidikan karakter anak tidak bisa dibangun dari ketakutan semata. Perlu ruang diskusi, pendampingan psikologis, dan dukungan penuh dari lembaga pendidikan serta keluarga. Jika anak-anak merasa didengar dan dibimbing dengan cara yang tepat, mereka cenderung tumbuh menjadi pribadi yang lebih sadar akan konsekuensi dari keputusan mereka sendiri.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada sinergi antar pihak: orang tua, sekolah, institusi keagamaan, dan pemerintah kota. Surabaya telah menunjukkan komitmen untuk mengedepankan pendekatan yang membangun, bukan menghukum. Semoga kota-kota lain di Indonesia bisa mengambil pelajaran dan mulai melihat anak-anak pelanggar aturan bukan sebagai masalah, melainkan sebagai individu yang sedang mencari arah dan membutuhkan bimbingan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *